Selasa, 29 September 2009

Tirta Gangga



Sejarah:
Tirtagangga dibangun pada tahun 1948 oleh Raja Karangasem, Anak Agung Anglurah Ketut Karangasem. Taman air ini dikonstruksi dalam arsitektur yang sangat unik dengan gaya Bali dan Cina.

Lokasi:
Tirtagangga terletak di Desa Ababi, Kecamatan Abang-sekitar 83 km dari Denpasar dan 6 km dari Amlapura ke utara.

Fasilitas:
Fasilitas yang tersedia di daerah ini antara lain hotel-hotel kecil, restoran-restoran kecil, dan warung-warung serta areal parkir yang luas.

Deskripsi:
Tirtagangga terletang pada daerah 1,2 hektar yang terdiri atas tiga kompleks. Kompleks pertama yakni pada bagian paling bawah dapat ditemukan dua kolam teratati dan air mancur. Kompleks kedua adalah bagian tengah dimana dapat ditemukan kolam renang; sementara, pada bagian ketiga, yakni kompleks ketiga, kita dapat menemukan tempat peristirahatan raja.

Sebelum konstruksi Tirtagangga, terdapat sumber mata air besar di daerah ini; sehingga masyarakat setempat menyebut daerah ini "embukan" yang artinya mata air.

Mata air itu kemudian difungsikan untuk memenuhi kebutuhan penduduk akan air dan juga sebagai "pemurnian" dari para Dewa. Untuk tujuan ini, mata air ini dianggap suci dan sacral.

Aspek religius dalam mengkonstruksi Tirtaganga untuk rumah istirahat raja dan juga untuk fungsi umum layak untuk disaksikan.

Kamis, 10 September 2009

Pura Rambut Siwi

Rambut siwi merupakan obyek wisata merupakan lingkungan suatu pura yang bernama Pura Rambut siwi, dikelilingi sawah yang membentang luas dan berteras-teras, dan di sebelah selatannya terdapat gundukan tebing dan batu karang yang curam. Dari gundukan tebing ini tampak Samudra Indonesia yang selalu dihiasi oleh deburan ombak. Di sebelah barat daya lingkungan pura terdapat balai tempat istirahat untuk menikmati keindahan panorama laut yang cukup mengasikkan. Tidak jauh dari balai tempat istirahat tadi, di sebelah selatan pura terdapat undak-undak yang curam untuk jalan turun ke pantai. Di pinggir pantai pada tebing batu karang ada dua buah goa yang dianggap suci dan keramat. Suasana di tempat ini tenang sekali dan baik untuk menenangkan pikiran.

Rambut siwi terletak di pinggir pantai selatan Pulau Bali bagian barat yang termasuk wilayah Desa Yehembang Kangin, Kecamatan Mendoyo Kabupaten Jembrana. Di sebelah utara lingkungan Pura, lebih kurang 200 meter terbentang jalan raya jurusan Denpasar-Gilimanuk, terdapat penyawangan lingkungan Pura Rambutsiwi. Di sini biasanya umat Hindu yang melintasi jalur perjalanan tersebut berhenti sejenak untuk menghaturkan sembah mohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa.Di sekitar lingkungan pura (terutama di sebelah timur dan barat) ada tempat-tempat istirahat untuk melepas lelah sementara sambil melihat-lihat keindahan alam disekitarnya. Disamping itu terdapat pula disana pameran lukisan maupun barang-barang souvenir lainnya yang dipajang setiap hari.

Rambutsiwi sering mendapat kunjungan para wisatawan, baik nusantara maupun mancanegara. Waktu kunjungan yang paling baik adalah pada sore hari sebelum matahari terbenam. Umumnya wisatawan ramai berkunjung kesana pada hari-hari libur, hari raya dan hari piodalannya.
Comments

Kamis, 03 September 2009

Danau Tamblingan

Danau Tamblingan adalah sebuah danau yang terletak di lereng sebelah utara Gunung Lesung, kawasan Desa Munduk, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Bali. Danau ini merupakan satu dari tiga danau kembar yang terbentuk di dalam sebuah kaldera besar. Di sebelah timur berturut-turut terdapat Danau Buyan dan Danau Beratan. Diapit oleh hutan disekelilingnya serta dikarenakan letaknya di dataran tinggi membuat lingkungan danau ini berhawa sejuk.

Sebagai salah satu objek wisata alam, Danau Tamblingan tidak dikembangkan ke arah pariwisata modern demi menjaga kelestarian alam dan lingkungannya. Yang menjadi daya tarik utama tempat ini bukan hanya pesona alamnya, namun juga karena banyaknya pura yang menyimpan sejarah dan perkembangan peradaban dan kebudayaan Bali khususnya menyangkut pembentukan dan perkembangan Desa Tamblingan.

Diceritakan pada abad 10M sampai 14M lingkungan Danau Tamblingan adalah pemukiman yang pusatnya berada di Gunung Lesung sebelah selatan danau. Karena suatu alasan penduduknya kemudian berpindah ke empat daerah berbeda yang jaraknya masih berdekatan dengan areal danau. Keempat desa itu kemudian disebut Catur Desa , yang berarti empat desa yakni : Desa Munduk, Gobleg, Gesing, dan Umejero. Keempat desa ini memiliki ikatan spiritual dan memiliki tanggung jawab dan kewajiban untuk menjaga kesucian danau dan Pura yang ada di sekitarnya.

Nama Tamblingan berasal dari dua kata dalam Bahasa Bali yaitu Tamba berarti obat, dan Elingang berarti ingat atau kemampuan spiritual. Diceritakan dalam Lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul bahwa masyarakat di wilayah itu konon pernah terkena wabah epidemi. Sebagai jalan keluar seseorang yang disucikan kemudian turun ke danau kecil di bawah desa untuk mengambil air untuk obat. Berkat doa dan kemampuan spiritual beliau air itu kemudian dijadikan obat dan mampu menyembuhkan masyarakat desa. Kata Tamba dan Elingang inilah lama kelamaan menjadi Tamblingan.

Rabu, 02 September 2009

Taman Nasional Bali Barat


Sejarah Kawasan

Pada tanggal 24 Maret 1911 seorang biologiawan dari Jerman, Dr. Baron Stressman yang terpaksa mendarat karena kapal Ekspedisi Maluku II rusak di sekitar Singaraja selama ± 3 bulan, menemukan burung Jalak Bali sebagai spesimen penelitiannya di sekitar Desa Bubunan ± 50 Km dari Singaraja. Kemudian pada tahun 1025 dilakukan observasi intensif oleh Dr. Baron Viktor von Plesen, atas pendapat Stressman yang melihat Jalak Bali sangat langka dan berbeda dengan jenis lain dari seluruh spesimen yang dia peroleh, dan diketahui penyebaran Jalak Bali hanya mulai Desa Bubunan sampai ke Gilimanuk seluas ± 320 Km2.

Untuk melindungi keberadaan spesies yang sangat langka yaitu burung Jalak Bali dan Harimau Bali, berdasarkan SK Dewan Raja-Raja di Bali No.E/I/4/5/47 tanggal 13 Agustus 1947 menetapkan kawasan hutan Banyuwedang dengan luas 19.365,6 Ha sebagai Taman Pelindung Alam / Natuur Park atau sesuai dengan Ordonansi Perlindungan Alam 1941 statusnya sama dengan Suaka Margasatwa.

Kawasan hutan Bali Barat dipandang memenuhi syarat untuk pengembangan hutan tanaman dibandingkan dengan bagian lain di Propinsi Bali (Menurut Brigade VIII Planologi Kehutanan Nusa Tenggara Singaraja, Tahun 1974). Sehingga sejak tahun 1947/1948 sampai dengan 1975/1976 di RPH Penginuman telah dilakukan pengembangan hutan tanaman dengan jenis Jati, Sonokeling, dan rimba campuran seluas 1.568,24 Ha. Tahun 1968/1969 sampai dengan 1975/1976 dikembangkan hutan tanaman Kayu Putih dan Sonokeling di RPH Sumberkima serta pada tahun 1956/1957 di RPH Sumberklampok telah dilakukan penanaman Sawo Kecik, Cendana, Bentawas, Sonokeling, dan Talok seluas 1.153,60 Ha. Dalam pelaksanaan penanaman ini dilakukan perabasan dan eksploitasi beberapa jenis hutan evergreen Sumberrejo dan Penginuman dan tebang pilih hutan alam Sawo Kecik di Prapat Agung.

Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDh Tk. I Bali No. 58/Skep/EK/I.C/1977 tahun 1977 tanah Swapraja Sombang seluas 390 Ha ditambahkan ke dalam kawasan sebagai pengganti kawasan yang terpakai untuk pembangunan Propinsi Bali dan kemudian SK Menteri Pertanian No. 169/Kpts/Um/3/1978 tanggal 10 Maret 1978 menetapkan Suaka Margasatwa Bali Barat Pulau Menjangan, Pulau Burung, Pulau Kalong dan Pulau Gadung sebagai Suaka Alam Bali Barat seluas 19.558,8 Ha.

Deklarasi Menteri Pertanian tentang penetapan Calon Taman Nasional Nomor 736/Mentan/X/1982 kawasan Suaka Alam Bali Barat ditambah hutan lindung yang termasuk ke dalam Register Tanah Kehutanan (RTK) No. 19 dan wilayah perairan sehingga luasnya mencapai 77.000 Ha terdiri dari daratan 75.559 Ha dan wilayah perairan ± 1.500 Ha. Namun pengelolaan UPT Taman Nasional Bali Barat sesuai SK Menteri Kehutanan No. 096/Kpts-II/1984 tanggal 12 Mei 1984 secara intensif hanya seluas 19.558,8 Ha daratan termasuk hutan produksi terbatas (HPT) dengan pembagian zonasi Zona Inti, Zona Rimba, Zona Pemanfaatan, dan Zona Penyangga.

Adanya konflik kewenangan di dalam kawasan TNBB, dimana pengelolaan HPT seluas 3.979,91 Ha adalah kewenangan Dinas Kehutanan Provinsi Bali, sehingga berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 493/Kpts-II/1995 tanggal 15 September 1995 luas Taman Nasional Bali Barat hanya sebesar 19.002,89 Ha yang terdiri dari 15.587,89 Ha wilayah daratan dan 3.415 Ha wilayah perairan sampai sekarang.

Penataan kawasan pengelolaan TNBB sesuai fungsi peruntukannya telah ditetapkan berdasarkan SK Dirjen Perlindungan dan Konservasi Alam No.186/Kpts/Dj-V/1999 tanggal 13 Desember 1999 tentang pembangian zonasi sebagai berikut :

* Zona Inti ; merupakan zona yang mutlak dilindungi, tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia kecuali yang berhubungan dengan kepentingan penelitian dan ilmu pengetahuan ; meliputi daratan selauas 7.567,85 hektar dan perairan laut seluas 455.37 hektar
* Zona Rimba; merupakan zona penyangga dari zona inti, dapat dilakukan kegiatan seperti pada zona inti dan kegiatan wisata alam terbatas ; meliputi daratan selauas 6.009,46 hektar dan perairan laut seluas 243.96 hektar
* Zona Pemanfaatan Intensif ; dapat dilakukan kegiatan seperti pada kedua zona di atas, pembangunan sarana dan prasarana pariwisata alam dan rekreasi atau penggunaan lain yang menunjang fungsi konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya ; meliputi daratan selauas 1.645,33 hektar dan perairan laut seluas 2.745.66 hektar
* Zona Pemanfaatan Budaya ; Zona ini dapat dikembangkan dan dimanfaatkan terbatas untuk kepentingan budaya atau relegi ; selauas 245,26 hektar yang digunakan untuk kepentingan pembangunan sarana ibadat umat Hindu.

2. Sejarah Organisasi
Pengelolaan hutan Bali Barat sebelum dikelola oleh Sub Balai Perlindungan dan Pelestarian Alam (PPA) Bali masih dalam pengelolaan Cabang Dinas Kehutanan Singaraja dan Jembrana sebagai unit dari Dinas Kehutanan Propinsi Bali, sedangkan unit pengelola terkecil wilayah yaitu RPH (Resort Pemangkuan Hutan) Penginuman, Sumberklampok dan Sumberkima.

Kawasan Suaka Alam berupa cagar Alam atau Suaka Margasatwa dikelola oleh Sub Balai Perlindungan dan Pelestarian Alam (PPA) / SBKSDA Provinsi Bali sebagai Unit Pelaksana Teknis Dirjen PPA dengan unit pemangku terkecil di lapangan yaitu Kepala Resort sebagai pelaksana pengamanan dan perlindungan, yang dikepalai oleh Kepala Sub Seksi / Rayon Kawasan Suaka Margasatwa Bali Barat / Sub Seksi Wilayah PPA yang setara Eselon V.

Bedasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 096/Kpts-II/1984 tanggal 12 Mei 1984 tentang Organisasi dan Tata Kerja Taman Nasional Bali Barat, Suaka Alam Bali Barat dikelola se bagai UPT Taman Nasional Bali Barat yang dikepalai oleh seorang Kepala yang setara Eselon IV, yang dibantu oleh Kepala Sub Bagian Tata Usaha, Kepala Seksi Pemanfaatan, Kepala Seksi Penyusunan Program. Sedangkan pelaksana teknis di lapangan adalah Kelompok Perlindungan, Pengawetan, dan Pelestarian.

Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 185/Kpts-II/1997 tanggal 31 Maret 1997 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional dan Unit Taman Nasional, meningkatkan pengelolaan Taman Nasional sebagai Balai yang dipimpin oleh seorang Kepala Balai setara Eselon III, yang dalam pengelolaannya dibantu oleh Kepala Sub Bagian Tata Usaha, Kepala Seksi Konservasi yang membawahi tiga sub seksi wilayah konservasi (Jembrana, Buleleng dan Labuan Lalang). Dan untuk pelaksana teknis di lapangan dibantu kelompok jabatan fungsional yang teridi dari Fungsional Jagawana, Fungsional Teknisi Kehutanan Bidang Konservasi Jenis Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Fungsional Teknisi Kehutanan Bidang Konservasi Kawasan dan Lingkungan dan Fungsional Teknisi Kehutanan Bidang Bina Wisata Alam.

Nuansa otonomi daerah memerlukan desentralisasi koordinasi birokrasi sehingga pengelolaan Taman Nasional Bali Barat sesuai dengan Surat keputusan Menteri Kehutanan No. 6186/Kpts-II/2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional dibagi menjadi 3 wilayah pengelolaan yaitu Seksi Konservasi Konservasi Wilayah I di Jembrana, Seksi Konservasi Wilayah II di Buleleng dan Seksi Konservasi Wilayah III di Labuhan Lalang dengan Kepala Seksi sebagai pejabat pemangku Wilayah yang setara Eselon IV.

Selasa, 01 September 2009

Kerta Gosa

Kerta Gosa terletak di tengah kota Kabupaten Klungkung, kira-kira 40 km ke arah timur dari Denpasar dan dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor sekitar 45 menit melalui Jl.Prof.Dr.Ida Bagus Mantra.



Arti & Sejarahnya
Kerta Gosa berarti tempat permbahasan segala sesuatu yang bertalian dengan situasi keamanan, kemakmuran serta keadilan wilayah kerajaan Bali. Siapa yang mempunyai ide serta pendiri dari pada Kertha Gosa tidaklah jelas. Namun menurut Chandra Sengkala yang terpahat pintu utama Puri Kertha Gosa sudah ada pada tahun Caka Cakra YuyuPaksi-paksi yang masing-masing bernilai 1,6,2,2. Jadi tahun 1622 Caka atau 1700 Masehi ketika I Dewa Agung Jambe sedang memerintah Klungkung

Fungsi dan Isi
Semasa kerajaan, balai Kertha Gosa ini setiap tahun sekali tiap-tiap hari Purnama Kapat adalah sebagai tempat sidangnya raja-raja bawahan di seluruh Bali. Di sinilah Raja tertinggi memberikan pengarahan serta keputusan-keputusannya berdasarkan pertimbangan keadaan dan kebutuhan. Setiap bulan setiap hari Budha (Rabu) Kliwon, Raja mengadakan rapat dengan para pembantu setempat di lingkungan Klungkung guna keperluan serupa. Selain dari pada tersebut diatas setiap harinya balai ini digunakan sebagai tempat bersantap bagi para pendeta istana dan para pendeta lainnya yang pada saat itu sedang menghadap raja. Demikian juga datangnya bangsawan asing seperti Belanda, Inggris, Portugis dan Cina.

Setelah keraton jatuh akibat perang Puputan melawan Belanda pada tanggal 28 April 1908, maka fungsi dan kegunaan balai ini menjadi lain. Sejak saat itulah hingga berakhirnya pemerintahan Belanda, balai Kertha Gosa menjadi balai pengadilan adat, dimana setiap orang yang memiliki perkara apappun bentuknya yang menyangkut pertikaian berkenaan dengan adat dan agama disidangkan dan diputuskan di sini.

Pada balai ini terdapat sebuah meja berukir keemasan dan enam buah kursi. Pada kursi yang lengannya bertanda singa adalah tempat duduknya raja yang bertindak selaku hakim ketua. Kursi yang berlengan lembu, adalah tempat duduknya pendeta sebagai ahli hukum serta penasehat raja didalam mengambil keputusan. Dan kursi yang melambangkan naga adalah tempat duduknya para kanca sebagai panitera sedangkan orang-orang yang hendak diadili baik sebagai tergugat maupun penggugat duduk di lantai bersila dalam laku dan sikap yang santun.

Di samping raja, kontrolir (pejabat tinggi setempat pemerintahan Belanda) kadang-kadang ikut serta juga hadir dalam persidangan tersebut sebagai orang yang paling menentukan bila sesuatu perkara dianggap khusus.Di balai Kerta Gosa terdapat 5 buah patung, 3 buah adlaah buatan pemahat cina dan 2 buah lagi adalah buatan pematung setempat yang bernama Pedanda Gede Kreta.

Yang menjadi daya tarik dari balai Kerta Gosa ini adalah di langit-langit bangunan terdapat lukisan-lukisan wayang yang memiliki cerita tentang kehidupan sehari-hari, karma phala, ramalan gempa dan filsafat hidup. Di samping balai Kerta Gosa terdapat banguan yang dikelilingi oleh kolam bernama Taman Gili.